Selasa, 08 November 2016

Ketika Harapan Itu Masih Ada

Ini adalah hal yang sebenarnya ingin saya tulis beberapa bulan lalu, tapi gak pernah kesampaian karena sibuk menghabiskan waktu bersama anak dan laptop (iya laptop, bukan istri)
Lagipula aku mah apa atuh. Politisi bukan, pengamat politik bukan, seleb media sosial bukan, cuma orang keras kepala yang gak mau pakai kartu kredit dan menolak beli kopi di starbucks walau cuma terpisah beberapa puluh meter dari kantor :D

Beberapa bulan lalu saya dan istri saya membahas pilkada DKI yang saat itu belum ada nama-nama calonnya apalagi nomornya, dan waktu itu belum ada kisruh penistaan seperti hari ini
Istri saya saat itu berargumen "Bagi orang yang muak dengan partai agamis mungkin akan memilih Ahok kali ya"

Yang dimaksud istri saya partai agamis itu tentu adalah partai satu itu tuh yang pernah menjadi gerakan yang sangat menginspirasi semasa kami kuliah dulu. Dulu partai tsb memang pernah berjaya di masa "perang" ketika mampu memenangkan suara di DKI Jakarta yang selalu dianggap barometer nasional.
Pergerakannya pun nampak kreatif, terutama dari lini akar rumputnya yang selalu bekerja bersama2 dengan keikhlasan masing-masing dan dompet masing-masing juga. Militansi akar rumputnya bahkan terkenal di kancah perpolitikan negeri hingga saat ini. Satu nama pentolan, HNW, selalu menggema dan bahkan pernah saya baca komentar di sebuah berita online dimana si komentator yang non muslim pun senang dengan bapak tsb. Islam rahmatallil aalamiin. Harapan itu sejatinya memang masih ada

Tapi waktu berganti, kepemimpinan berganti, begitu pula wajah dari partai ini. Di masa "damai", beberapa elit saling beradu pamor tapi yang muncul ke permukaan malah sedikit banyak merubah bagaimana cara saya memandang partai ini. Semenjak musibah yang menimpa sang presiden, partai ini jadi lebih disibukkan untuk membela diri dan kehilangan kreatifitasnya. Dan bukan cuma sibuk membela diri, tapi memilih untuk membentuk musuh bersama sebagai cara untuk menjaga soliditas partai tsb. Bukan sekali dua kali saya mendengar orasi sang presiden yang kerap menuding ada pihak lain yang menginginkan mereka nyungsep tapi mereka tunjukkan bahwa masih tetap bertahan. Bertahan dengan elektabilitas yang terus menurun tentunya. Jadi ibarat menyalahkan orang lain duluan sebelum mencoba bercermin.

Puncaknya ya pada masa pilpres 2014 lalu, dimana isu sangat liar berkembang dan cenderung tidak proporsional, kurang tabayyun dan mengada-ngada, berselimut nama agama yang padahal lebih kental terasa politiknya. Dari dalam mereka selalu meyakinkan publik bahwa mereka solid dan satu suara, jalan lurus yang sempurna. Sementara untuk yang berseberangan, mereka mempertanyakan keislamannya dan menganggapnya sebagai ancaman agama - pembentukan musuh bersama. Publik khususnya saya, saat itu hampir saja dibuat percaya bahwa mungkin memang inilah wajah sebenarnya partai yang pernah saya kenal waktu kuliah dulu, dan mungkin justru sayalah yang salah mengambil perspektif sedari awal. Ya, hampir saja saya percaya

Tapi ketika beberapa bulan lalu saat istri saya berargumen bahwa orang yang muak dengan partai agamis mungkin akan memilih Ahok, saya justru berkata "Kenapa harus seperti itu? Partai ini sedang berubah lho". Dan istri saya pun mengernyitkan dahinya. Pertanyaannya, benarkah? Ya wallahualam mana saya tau? Terlebih lagi politik itu dinamis di negara seperti ini. Tapi setidaknya saya mencatat beberapa poin peristiwa yang bisa membuat saya memberi penilaian kembali pada partai ini :

1. HNW sudah turun tangan untuk menggeser AM yang saya anggap sebagai tindakan untuk mengambil alih kembali kemudi. Saya jelas lebih percaya HNW ketimbang AM
2. Slogan partai dikembalikan ke awal (gak terlalu penting sih)
3. Situs p*spiyungan yang artikelnya kerap bombastis dan provokatif itu diklarifikasi sebagai bukan bagian dari partai (dan kita lihat sekarang sudah berganti nama domain)
4. Seleb facebook j*nru kena tegur pihak partai

Hingga empat poin peristiwa diatas, naluri skeptis saya masih bekerja. Masih menerka kira-kira mau dibawa kemana arahnya. Hingga datanglah poin ke lima yang sebelumnya saya pikir tidak akan pernah mungkin terjadi

5. FH dipecat dari seluruh struktur partai

Saat terjadinya poin 5 tsb, saya benar-benar tersenyum lebar. Bukan untuk mentertawai, tapi tersenyum puas untuk mengetahui bahwa memang there was something wrong with this party. Bukan main-main, saat FH berkuasa, kader-kader partai di lingkaran pertemanan saya hampir seluruhnya satu suara dan satu ide dengan FH dengan segala kontroversinya. Sampai saat ini pun saya berpikir jika FH membuat partai baru saya rasa masih akan banyak pengikutnya. Tapi kali ini dipecat dari struktur partai lho, bukan cuma sekedar dicopot dari DPR. Dalam artian FH tidak lagi bisa dianggap satu visi dengan partai sehingga harus dikeluarkan. Untuk mereka yang selama ini satu suara dengan FH tentu akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bagi saya, ini adalah sinyal bahwa partai ini sedang berusaha kembali.

Tapi politik itu memang dinamis, yang membuat saya juga harus memberi penilaian dinamis pula. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. FH pun nyatanya masih bertengger di singgasana dan proses bandingnya masih berlanjut. Mengatas namakan ukhuwah se akidah, aksi 4 Nov sedikit banyak membuktikan masih adanya pengaruh FH pada umat Islam sekalipun tanpa partai. Politik itu kejam, bung!

Sejenak lupakanlah elit yang memberi wajah partai. Lupakanlah skenario pembentukan musuh bersama. Lupakanlah membuat orang lain tampak buruk. Sewaktu tinggal di Palembang dulu, ada pedagang gorengan di Jalan Ogan yang rajin membaca Al Quran ketika tidak ada pembeli. Kami sering beli disana karena bapaknya ramah dan memang sekali jalan untuk menuju ke kontrakan. Sekalinya kami berkunjung ke rumahnya, kami mendapati spanduk partai tergantung di dindingnya. Menariknya, ia berkata bahwa ia hanya menyukai partainya saja, tidak kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Kira-kira, apa ya harapan si bapak pada partai ini? Karena sebagai pemilih awam, saya tidak pernah terdorong untuk kepo, apalagi untuk menyamakan persepsi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar